Lampung, Metrozone.net, – kembali diterpa kegalauan akibat kelangkaan bahan bakar solar. Sejumlah mobil, minibus, hingga truk kesulitan mendapatkan pasokan. Tak sedikit pengemudi rela mengantri sejak subuh hanya demi beberapa liter solar.
Ketua Umum Gerakan Pembangunan Anti Korupsi (Gepak) Lampung, Wahyudi, menegaskan telah memantau keadaan itu dan menemukan fakta bahwa kelangkaan solar sudah berlangsung hampir satu bulan, sangat meresahkan dan mengganggu denyut nadi perekonomian.
“Kelangkaan solar ini sudah terjadi hampir satu bulan. Kami mendesak Gubernur Lampung segera menyikapi persoalan ini, jangan sampai dibiarkan berlarut-larut,” tegas Wahyudi, Jumat (19/9).
Di lapangan, pemandangan antrean panjang tak terbantahkan. Hampir semua SPBU di Bandar Lampung mengalami pembatasan pasokan. Salah seorang petugas SPBU mengakui, distribusi solar saat ini dibatasi hanya 8 ton per hari, jumlah yang jauh dari kebutuhan normal.
“Memang antrean sudah hampir sebulan ini. Pasokan solar dibatasi hanya 8 ton per hari. Jadi mau tidak mau, antrean panjang tak bisa dihindari,” kata petugas SPBU yang enggan disebutkan namanya.
Situasi paling mencolok terjadi di SPBU Urip Sumoharjo. Pada Jumat pagi terlihat deretan kendaraan mengular hingga kawasan Migacoan, sekitar 500 meter dari lokasi, menyebabkan kemacetan parah di sepanjang jalan utama. Kondisi serupa juga merembet ke sejumlah titik lain.
Kelangkaan ini tak lepas dari beberapa faktor kunci. Kuota Bio Solar subsidi di Lampung tahun 2025 turun menjadi 802.204 KL, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 857 ribu KL.
Kuota yang berkurang jelas menekan suplai harian ke SPBU. Permintaan pun melonjak tajam. Truk logistik, kendaraan barang, hingga sektor pertanian di Lampung makin bergantung pada solar bersubsidi.
Aktivitas ekonomi yang berdampak meningkatnya arus lalu lintas di jalur tol Trans Sumatera membuat konsumsi melampaui perkiraan awal. Distribusi juga tidak merata. Dari hampir 200 SPBU di Lampung, hanya sekitar 160 yang menyalurkan Bio Solar. Banyak SPBU di jalur utama cepat kehabisan stok, sehingga antrean tak terhindarkan.
Namun di balik itu, dugaan permainan distribusi mencuat. Solar subsidi yang semestinya diperuntukkan bagi angkutan umum, barang, dan nelayan kecil justru kerap bocor ke kendaraan pribadi atau industri yang seharusnya memakai solar non-subsidi.
Beberapa sopir bahkan mengaku ada praktik “penimbunan terselubung” di tingkat pengecer yang kemudian dijual dengan harga lebih tinggi.
Gepak menilai, kelangkaan solar bukan semata akibat kuota terbatas, melainkan juga lemahnya pengawasan yang memberi ruang bagi mafia BBM untuk bermain. Situasi ini menguatkan kecurigaan publik bahwa ada oknum yang sengaja mengambil keuntungan di tengah keterbatasan.
Fakta-fakta di daerah lain menguatkan kecurigaan ini. Pada April 2024, Polda Lampung membongkar kasus penyalahgunaan solar subsidi di Natar, Lampung Selatan, di mana ribuan liter solar diduga diselewengkan untuk industri tambang.
Di Sumatera Selatan, Polres Musi Banyuasin pernah menangkap jaringan pengoplos solar subsidi yang menyalurkan BBM dengan truk tangki modifikasi.
Sementara di Jawa Tengah, praktik membeli solar subsidi dalam jumlah besar menggunakan jeriken untuk kemudian dijual kembali dengan harga lebih tinggi sudah berulang kali diungkap kepolisian. Semua kasus ini menunjukkan pola yang sama; solar subsidi kerap menjadi lahan empuk permainan mafia karena perbedaan harga dengan solar nonsubsidi mencapai Rp 4.000 – Rp 5.000 per liter.
(Red)