Opini | Akses Pendidikan Negeri yang Makin Mahal: Menimbang Kembali Keadilan UKT di UBB

Berita, Daerah60 Dilihat

Oleh: Rifqi Abdul Hakim

Momen kelulusan sekolah menengah atas seharusnya menjadi gerbang menuju harapan baru bagi banyak keluarga di Bangka Belitung. Namun, bagi sebagian orang tua, terutama yang anaknya lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) di Universitas Bangka Belitung (UBB), kabar bahagia itu justru berubah menjadi dilema. Beban UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang terasa tidak adil membuat sebagian besar harus mempertimbangkan kembali—meneruskan pendidikan anak, atau mundur pelan-pelan dari pintu perguruan tinggi negeri.

Ironisnya, UBB yang menjadi satu-satunya perguruan tinggi negeri di provinsi ini kini justru memunculkan kesan elitis dalam proses seleksi mahasiswa baru. UKT yang ditetapkan seolah tidak merefleksikan realitas ekonomi keluarga, khususnya mereka yang tinggal di luar Pangkalpinang dan bekerja di sektor informal. Tak sedikit orang tua merasa bahwa dokumen yang mereka serahkan untuk penetapan UKT tidak dilihat secara utuh.

Lebih memprihatinkan lagi, kondisi ini diperparah dengan sepinya peminat jalur mandiri tahun ini. Fakta ini seharusnya menjadi alarm bagi kampus. Bukankah ini sinyal bahwa biaya pendidikan—sekalipun di kampus negeri—sudah tidak ramah lagi bagi warga lokal?

Prinsip dasar UKT adalah keadilan sosial: yang mampu membayar lebih, memberi subsidi silang bagi yang kurang mampu. Namun dalam praktiknya, banyak mahasiswa merasa UKT justru dipukul rata atau ditentukan tanpa kejelasan mekanisme yang transparan. Ketika mahasiswa dari keluarga buruh tani dikenai UKT jutaan rupiah per semester, pertanyaan sederhana muncul: “Dimana keadilan itu diletakkan?”

Kampus seharusnya menjadi ruang inklusi, bukan hanya ruang akademik. Jika penetapan UKT lebih menyerupai kalkulasi finansial ala perusahaan, maka idealisme Tri Dharma Perguruan Tinggi akan kehilangan maknanya.

Sebagai kampus negeri yang dibiayai negara dan dibangun di tanah Bangka Belitung, UBB semestinya tetap memegang teguh komitmen terhadap akses pendidikan yang merata. Bukan rahasia lagi bahwa banyak anak-anak berprestasi dari pelosok Bangka atau Belitung yang gagal melanjutkan kuliah hanya karena tersandung biaya.

Sementara itu, di sisi lain, muncul kesan bahwa jalur mandiri justru memberi ruang luas kepada mereka yang mampu secara ekonomi, bukan secara akademik. Ini mengancam semangat meritokrasi yang menjadi dasar sistem pendidikan nasional.

Solusi bukan tidak ada. Yang dibutuhkan UBB saat ini adalah evaluasi menyeluruh terhadap sistem penetapan UKT. Pertama, penting adanya mekanisme banding UKT yang terbuka dan adil. Kedua, UBB perlu menyampaikan secara jelas indikator apa saja yang digunakan untuk menentukan kelompok UKT mahasiswa. Transparansi adalah kunci membangun kepercayaan publik.

Lebih jauh, kampus juga bisa menjajaki kerja sama dengan pemerintah daerah atau BUMD untuk menyediakan skema beasiswa bagi mahasiswa baru dari keluarga kurang mampu. Jangan sampai kebijakan pendidikan yang tak peka justru membuat kampus negeri kehilangan makna “negeri”-nya.

UBB, sebagai simbol kemajuan pendidikan tinggi di Bangka Belitung, tak boleh membiarkan biaya menjadi tembok penghalang bagi generasi muda lokal. Jika kampus negeri mulai menjauh dari rakyat, lalu kepada siapa lagi masyarakat berharap?

Kini saatnya UBB membuka ruang dialog, mendengar keluhan masyarakat, dan kembali menempatkan keadilan sosial sebagai fondasi utama kebijakan pendidikannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *