Opini:
Oleh Rifqi Abdul Hakim
BANGKA, Rencana aksi ribuan warga Bangka pada 29 September 2025 di depan kantor PT Timah Tbk, Pangkalpinang, bukan sekadar unjuk rasa biasa. Di balik spanduk dan pengeras suara yang akan mereka bawa, ada jeritan panjang tentang ketidakadilan dalam tata kelola tambang di daerah ini.
Komunitas Pejuang Tambang Rakyat (KPTR) Bangka menolak keras aktivitas pembukaan tambang timah di lahan HGU perkebunan kelapa sawit milik PT Gunung Maras Lestari (GML) di Desa Bukit Layang, Kecamatan Pemali. Mereka menilai kalaupun izin PT Timah kegiatan mitra PT Timah dilakukan tanpa sosialisasi, bahkan dianggap sebagai pemicu keresahan sosial.
KPTR memperkirakan sekitar 3.000 orang dari berbagai desa akan turun ke jalan. Mereka berasal dari Mabat, Dalil, Kayu Besi, Sempan, Puding, Mangkak, dan Bakam. Para peserta aksi disebut akan membawa spanduk, karton bertuliskan tuntutan, serta pengeras suara.
Aksi ini sejatinya dijadwalkan pada 25 September 2025, namun ditunda dan dijadwalkan ulang menjadi 29 September 2025. Penundaan itu tidak menyurutkan semangat KPTR, yang menutup surat dengan pernyataan tegas: “Harga Mati Perjuangan untuk Rakyat.”
Suara yang Terpinggirkan
Pertanyaan mendasar dari polemik ini sederhana: di mana posisi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam di tanah mereka sendiri? PT Timah memang memegang izin resmi, PT GML pun sah memiliki HGU perkebunan. Namun, bagaimana dengan warga yang tanahnya dikepung, hidupnya menyempit akibat tambang?
Jika perusahaan merasa sudah memiliki dasar hukum, masyarakat merasa mereka memiliki dasar moral. Hak untuk hidup, hak untuk tahu, hak untuk dilibatkan. Mengabaikan hak-hak itu sama saja menutup mata terhadap kenyataan sosial.
Ini bukan pertama kalinya masyarakat Bangka turun ke jalan. Setiap kali tambang memasuki wilayah baru tanpa dialog, gelombang protes hampir selalu lahir. Bedanya, kali ini KPTR secara tegas menyebut perjuangan mereka sebagai “harga mati.” Itu adalah peringatan keras, bahwa kesabaran warga telah habis.
Konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat di Bangka Belitung sering kali hanya dianggap sebagai riak kecil yang bisa diredam dengan janji atau bantuan sementara. Padahal, pola itu justru memperdalam jurang ketidakpercayaan.
Kini bola panas ada di tangan PT Timah dan PT GML. Keduanya bukan hanya berurusan dengan legalitas, melainkan juga legitimasi sosial. Menambang tanpa restu masyarakat adalah jalan pintas menuju konflik panjang.
Dibutuhkan keberanian perusahaan untuk menghentikan sejenak aktivitasnya dan membuka ruang dialog jujur. Menyertakan masyarakat bukan sekadar formalitas, melainkan kebutuhan mendesak agar keberadaan tambang tidak selalu diingat sebagai sumber luka.
Seruan KPTR bahwa “Harga Mati Perjuangan untuk Rakyat” bukanlah retorika kosong. Itu adalah cermin dari akumulasi kekecewaan, rasa dikhianati, dan keresahan yang nyata di akar rumput.
Apabila PT Timah dan PT GML memilih jalan keras, mereka justru sedang menyiapkan panggung perlawanan yang lebih luas. Sebaliknya, jika mereka berani membuka telinga dan hati, inilah momentum untuk membuktikan bahwa perusahaan besar masih bisa menghormati suara rakyat kecil.
Karena pada akhirnya, tambang bisa habis. Tetapi luka sosial yang ditinggalkan bisa berlangsung jauh lebih lama.