Skandal Tanah Makam Umum Desa Watukebo Jadi Sertifikat, Warga Menggugat Pemalsuan Dokumen

Berita46 Dilihat

Banyuwangi, Metrozone.Net– Ratusan warga Desa Watukebo kini bergerak bersama dalam Forum Watukebo Bersatu (FWB) untuk menggugat dugaan pemalsuan dokumen dalam penerbitan Sertifikat Tanah Wakaf Nomor 00037 yang diduga kuat melibatkan mafia tanah. Konflik ini muncul setelah tanah makam desa yang selama ini digunakan sebagai tempat peristirahatan terakhir leluhur Masyarakat Watukebo tiba-tiba berubah status menjadi tanah wakaf untuk Yayasan Pendidikan Islam dan Sosial Darul Aitam Al-Aziz.(8/03/2025)

Ketua Forum Watukebo Bersatu,(FWB) Suripno, didampingi sekretaris Hendra Arie Saputra, menyampaikan bahwa warga semakin resah setelah menemukan indikasi kuat bahwa proses peralihan hak atas tanah makam ini sarat dengan rekayasa administratif dan dugaan manipulasi dokumen negara.

Kuasa Hukum Warga Bergerak
Warga akhirnya menunjuk Budi Kurniawan Sumarsono, A.md. ST. SH. (CWW), Founder CWW-LawTech (Konsultan & Rumah Hukum), serta Abdul Hafid SHI. MH., seorang advokat senior sekaligus dosen hukum, sebagai kuasa hukum mereka. Dengan dukungan lebih dari seribu tanda tangan warga serta ahli waris yang diketuai Untung Suripno dan

sekretarisnya Sugiharto, tim hukum ini siap menempuh jalur hukum administrasi, perdata, dan pidana untuk membatalkan sertifikat yang mereka anggap cacat hukum.

“Konflik sosial ini serius dan berpotensi memicu eskalasi jika tidak segera diselesaikan. Ada indikasi kuat pemalsuan dokumen, rekayasa perikatan tanah, serta pelanggaran hukum agraria yang sangat jelas. Kami akan menempuh langkah hukum mulai dari PTUN, perdata, hingga pidana,” tegas CWW.

Dugaan Pemalsuan Dokumen dan Konflik Kepentingan
Berdasarkan investigasi tim hukum, ditemukan beberapa kejanggalan serius dalam penerbitan sertifikat ini:

1.Subjek Tidak Konsisten
Dalam dokumen sertifikat, disebutkan bahwa Alm. Haji Buasir bertindak sebagai wakif (pemberi wakaf) pada Akta Ikrar Wakaf tahun 2023, padahal ia baru meninggal dunia pada 3 Mei 2024. Lebih mengejutkan lagi, dalam Surat Tanah Wakaf Nomor 0037, dasar pendaftarannya tercatat pada 26 Juli 2024. Lantas, siapa yang sebenarnya menandatangani dokumen ini? Dugaan pemalsuan dokumen atau antidatir semakin menguat.

2.Konflik Kepentingan dalam Pengelolaan Tanah Wakaf
Ditemukan bahwa Haji Buasir, yang disebut sebagai wakif, juga tercatat sebagai Ketua Yayasan Darul Aitam Al-Aziz, yang menjadi penerima manfaat dari wakaf tersebut. Ini jelas bertentangan dengan prinsip nazir independen dalam Pasal 12 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang menyebutkan bahwa nazir harus bertindak tanpa konflik kepentingan.

3.Manipulasi Data Tanah dalam Buku Tanah Desa
Sebelum sertifikat ini terbit, tanah makam ini telah terdaftar dalam Buku Letter C Desa sejak 1962 dengan status tanah makam umum. Namun, dalam proses pendaftaran ke BPN, luas tanah yang semula 2.562 m² tiba-tiba berubah menjadi 1.649 m² dalam sertifikat baru. Perubahan batas ini tanpa prosedur resmi adalah indikasi penyalahgunaan wewenang.

Ancaman Kriminalisasi dan Kriminalisasi Warga,
Sejumlah warga yang berusaha mengungkap kasus ini justru mendapat tekanan hukum. Dalam dua kali audiensi dengan kantor desa, seorang warga dilaporkan oleh Kepala Desa Watukebo atas dugaan Pasal 315 KUHP (Penghinaan Ringan)—pasal yang sering digunakan untuk mengkebiri kebebasan berekspresi dan mengkriminalisasi aktivis. Jika laporan ini terbukti rekayasa, warga berencana melaporkan balik kepala desa dengan Pasal 317 KUHP (Laporan Palsu) dan Pasal 220 KUHP.

Strategi Hukum yang Akan Ditempuh
Jika dalam 7 hari kerja tidak ada tindak lanjut dari BPN Banyuwangi, kuasa hukum dan warga akan mengambil langkah hukum berikut:

A. Mengajukan gugatan ke PTUN untuk membatalkan sertifikat tanah wakaf yang cacat hukum.

B. Melaporkan dugaan pemalsuan dokumen ke APH (Aparat Penegak Hukum) untuk penyelidikan forensik.

C. Mengajukan aduan ke Ombudsman RI dan Kementerian ATR/BPN untuk audit investigatif terhadap proses penerbitan sertifikat.

D. Mempersoalkan dugaan keterlibatan oknum aparat desa dalam proses ini dengan dugaan pelanggaran Pasal 55 dan 56 KUHP tentang Penyertaan dalam Tindak Pidana.

“Warga hanya meminta keadilan. Kami tidak ingin ada mafia tanah yang mempermainkan aset sosial seperti tanah kuburan. Ini persoalan moral, bukan sekadar hukum,” pungkas CWW.

Dukungan Publik dan Seruan Keadilan,
Kasus ini telah menarik perhatian aktivis pertanahan dan akademisi hukum agraria. Mereka menilai bahwa praktik semacam ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak integritas sistem

administrasi pertanahan di Indonesia.
Masyarakat Watukebo kini bersatu, tidak hanya untuk mempertahankan hak atas tanah makam, tetapi juga untuk memperjuangkan transparansi dan keadilan dalam sistem agraria nasional.

Sumber: FWB (Forum Watukebo Betsatu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *