Metrozone.net.-BOLTIM
Ketika berbicara tentang sosok yang hangat dan penuh inspirasi di Bolaang Mongondow Timur, nama Samsudin Dama, atau yang akrab disapa Sadam oleh masyarakat, pasti tak asing lagi. Politisi Partai NasDem ini, yang juga dikenal sebagai Papa Caca, memiliki banyak cerita yang mampu menyentuh hati dan membuka pikiran. Tinggal di Kecamatan Kotabunan, Sadam kerap menjadi tempat curhat dan bertukar cerita bagi masyarakat setempat.
Pasca perayaan Natal dan Tahun Baru, Sadam berbagi sebuah kisah penuh makna yang ia dengar dari seorang dosen kepada mahasiswanya. Sebuah kisah yang sederhana, namun menyimpan pelajaran hidup yang mendalam.
– Kisah Dosen, Mahasiswa, dan Secangkir Kopi
Dalam suasana Natal, sembilan orang alumni datang berkunjung ke rumah dosen mereka. Mereka adalah para mantan mahasiswa yang kini telah sukses di berbagai bidang. Dengan penuh hormat, mereka menyapa sang dosen, bersalaman, dan berbagi cerita tentang perjalanan hidup mereka.
Namun, di tengah canda tawa, suasana perlahan berubah menjadi lebih serius. Para tamu mulai mengungkapkan keluh kesah mereka. Kehidupan yang mereka jalani kini terasa melelahkan. Kesibukan yang tak berujung membuat mereka jarang memiliki waktu bersama keluarga. Mereka rindu masa-masa sederhana di bangku kuliah, ketika kehidupan belum seberat sekarang.
Melihat wajah-wajah lelah di depannya, sang dosen pun berdiri. Ia masuk ke dapur dan kembali dengan membawa sebuah teko berisi kopi hangat, serta sembilan gelas dengan beragam bentuk dan bahan—ada yang terbuat dari kaca kristal mewah, porselen elegan, hingga gelas sederhana dari bambu.
Sang dosen meletakkan teko dan gelas di meja, lalu mempersilakan para mantan mahasiswanya untuk menuangkan kopi sesuai selera mereka.
Secara spontan, para tamu mulai berebut memilih gelas yang terlihat paling mahal dan elegan. Hanya tersisa gelas-gelas sederhana di atas meja.
Melihat pemandangan itu, sang dosen tersenyum bijak.
“Lihatlah kalian,” katanya lembut. “Kalian semua memilih gelas yang paling mewah, seakan-akan gelas itulah yang membuat kopi lebih nikmat. Padahal, apakah yang kalian nikmati sebenarnya—kopinya atau gelasnya?”
Para mahasiswa terdiam. Perlahan mereka mulai memahami maksud perkataan sang dosen.
“Kehidupan ini seperti kopi,” lanjut sang dosen. “Pekerjaan, jabatan, harta, dan status sosial itu hanyalah gelasnya. Gelas memang bisa memperindah tampilan, tapi kopi di dalamnya tetaplah yang paling penting. Banyak dari kalian sibuk mengejar gelas terbaik, sampai lupa menikmati kopinya.
Kalian bekerja keras untuk menjadi kaya dan sukses, tapi apakah kalian sudah menikmati waktu bersama keluarga? Sudahkah kalian menjadi suami yang baik? Ayah yang hadir di masa pertumbuhan anak-anak kalian? Atau kalian malah sibuk mencari gelas, sampai lupa merasakan nikmatnya kopi yang Tuhan berikan setiap hari?”
Suasana hening. Beberapa dari mereka menunduk, teringat momen-momen berharga yang terlewatkan karena kesibukan mereka.
Sadam yang menceritakan kisah itu tampak tersenyum penuh arti. Baginya, pesan sang dosen sangat relevan dengan kehidupan saat ini.
“Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya bersyukur,” ujar Sadam. “Kita sering lupa menikmati hal-hal sederhana yang kita miliki, karena terlalu sibuk mengejar hal-hal yang terlihat lebih indah dan berkilau dari luar. Padahal, nikmat yang diberikan Tuhan setiap hari nafas, kesehatan, waktu bersama keluarga itulah yang paling berharga.”
“Di momen Natal dan Tahun Baru ini,saya mengajak mari kita sama-sama belajar untuk belajar bersyukur,” katanya dengan penuh semangat. “Nikmati setiap detik yang Tuhan berikan. Jaga silaturahmi dengan keluarga, sahabat, dan tetangga. Karena Hidup ini bukan hanya soal mencari roti untuk bertahan hidup, tapi juga soal menikmati kebahagiaan yang ada di sekitar kita.
” INGAT NIKMATI KOPINYA BUKAN GELASNYA”