Oleh: Muhammad Fawazul Alwi, Founder Aceh Sumatra Youth Movement
Di Aceh Barat, menjelang setiap pemilu, kita seringkali dihadapkan pada berbagai bentuk manipulasi politik yang melibatkan politik identitas, praktik politik uang, black campaign, dan hoax. Fenomena ini sangat meresahkan karena tidak hanya merusak proses demokrasi, tapi juga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap para pemimpin politik.
Politik identitas adalah salah satu isu yang kerap kali muncul dalam kontestasi politik di Aceh Barat. Mengingat Aceh sebagai daerah yang memiliki kekhasan tersendiri baik dari segi budaya maupun agama, sering kali isu-isu ini dimanfaatkan oleh para politisi untuk meraih dukungan. Politik identitas muncul ketika para kandidat politik lebih mengandalkan aspek-aspek kultural, etnis, atau agama untuk memenangkan simpati publik daripada menawarkan program yang substansial.
Di Aceh Barat, politik identitas sering kali berpusat pada asal kedaerahan (kecamatan) dari sang Calon. Fenomena ini sudah berlangsung lama dan sulit dibendung, terutama karena politik identitas ini sangar kuat menggiring opini dikalangan masyarakat sehingga muncul istilah “Awak Tanyoe”, “Putra Daerah” (salah satu kecamatan sang kandidat).
Namun, penggunaan politik identitas yang berlebihan juga memiliki konsekuensi negatif. Masyarakat yang terpecah berdasarkan identitas etnis atau kedaerahan akan lebih mudah dipolitisasi, sehingga memicu polarisasi yang tajam. Bukannya membangun diskusi yang rasional, politik identitas justru mendorong masyarakat untuk memilih berdasarkan kesamaan identitas, bukan kompetensi atau program yang ditawarkan bahkan yang sudah dijalankan dengan sukses sebelumnya.
Padahal, memilih Bupati tidak harus berdasarkan atas dasar kesamaan daerah atau kecamatan. Memilih Bupati berarti memilih pemimpin untuk satu kabupaten, yaitu Aceh Barat, bukan pemimpin bagi satu kawasan saja. Bupati harusnya hadir untuk seluruh kawasan tanpa memandang bulu. Penyakit politik identitas hadir atas ambisi politik yang tidak sehat & ambisi untuk mengadu domba satu kawasan dengan kawasan lain, sehingga muncul kecemburuan & kesenjangan sosial didalam Kabupaten.
Selain politik identitas, money politic atau politik uang juga menjadi masalah serius di Aceh Barat, terutama menjelang Pilkada 2024. Berdasarkan berita dari HabaAceh.id, potensi terjadinya praktik politik uang di Aceh Barat masih sangat tinggi. Calon kepala daerah sering kali tergoda untuk “membeli” suara pemilih, terutama di daerah-daerah yang ekonominya masih rentan.
Money politic terjadi ketika seorang calon atau partai politik memberikan uang atau barang untuk mempengaruhi pilihan pemilih, yang sering terjadi adalah dengan cara memberikan sepeser uang kepada masyarakat yang telah memberikan KTP-nya untuk pendataan penerimaan money politic. Meski secara hukum sudah dilarang dan ada ancaman pidana , praktik ini tetap marak terjadi. Bahkan, sanksi hukum yang tegas, seperti hukuman penjara dan denda besar, sering kali tidak cukup untuk mencegahnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya pengawasan dari pihak berwenang dan adanya “normalisasi” terhadap praktik ini di masyarakat.
Di Aceh Barat, politik uang sering kali terjadi di desa-desa bahkan di kota, di mana masyarakat dengan ekonomi rendah menjadi sasaran empuk bagi para politisi yang ingin meraih kemenangan dengan cara instan. Meskipun sebagian masyarakat menyadari bahwa menerima uang atau barang dari calon politik adalah bentuk korupsi, mereka merasa tidak punya pilihan lain karena situasi ekonomi yang sulit.
Selain itu, politik uang juga mengakibatkan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak kompeten dan tidak jujur. Calon yang memenangkan pemilu bukanlah yang memiliki visi dan misi yang jelas untuk memajukan daerah, tetapi yang memiliki kekuatan finansial untuk “membeli” dukungan.
Black campaign atau kampanye hitam adalah salah satu strategi politik yang sering digunakan oleh kandidat atau pendukung kandidat untuk menjatuhkan lawannya. Kampanye hitam ini biasanya berupa penyebaran informasi yang tidak benar, fitnah, atau tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar yang bertujuan merusak reputasi lawan. Dalam konteks Pilkada di Aceh Barat, fenomena ini juga tidak terlepas dari perpolitikan lokal.
Berdasarkan artikel dari Tribun Aceh, Pilkada Aceh Barat yang diikuti oleh dua pasangan calon kepala daerah pada 2024 ini sangat rentan terhadap praktik black campaign. Mengingat jumlah kandidat yang terbatas, setiap tindakan dari kandidat dan tim suksesnya akan lebih terfokus, sehingga kemungkinan terjadinya black campaign semakin tinggi.
Black campaign sering kali sulit dibuktikan karena informasi yang disebarkan biasanya bersifat manipulatif dan ambigu. Beberapa bentuk black campaign yang sering terjadi di Aceh Barat misalnya adalah penyebaran hoax tentang kandidat tertentu atau menuduh kandidat lawan akan menutup Perusahaan Terbesar, tidak peduli lapangan kerja, aneuk miet ciret (kalau di Jakarta sering disebut bocah ingusan), bukan putra daerah, dan lain sebagainya. Strategi ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kebencian di kalangan masyarakat yang sering kali tidak memiliki informasi yang cukup untuk membedakan antara fakta dan fitnah.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan UI, menyebutkan bahwa black campaign sering kali memanfaatkan kelemahan dalam pengawasan pemilu, terutama di daerah-daerah yang minim akses terhadap informasi yang akurat. Akibatnya, para pemilih lebih mudah dipengaruhi oleh informasi-informasi yang tidak benar yang disebarkan melalui media sosial atau kampanye dari mulut ke mulut.
Politik identitas, politik uang, black campaign, dan hoax adalah tantangan utama dalam proses demokrasi di Aceh Barat. Meskipun fenomena ini tidak unik di Aceh Barat, dampaknya sangat terasa di daerah ini karena faktor-faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang membuat masyarakat lebih rentan terhadap manipulasi politik.
Untuk memperbaiki situasi ini, diperlukan upaya yang serius dari semua pihak. Pengawasan yang lebih ketat dari Panwaslih dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) serta peningkatan literasi politik di kalangan masyarakat, adalah beberapa langkah yang bisa diambil untuk meminimalisir dampak negatif dari politik identitas, money politic, black campaign, dan hoax.
Lebih dari itu, masyarakat Aceh Barat perlu lebih kritis dan dewasa dalam menyikapi segala bentuk informasi yang mereka terima, terutama yang beredar di media sosial. Dengan demikian, proses demokrasi yang lebih bersih dan sehat dapat terwujud, dan Aceh Barat bisa mendapatkan pemimpin yang benar-benar berkompeten dan peduli pada kemajuan daerahnya. (*)