Merawat Tradisi, Menguatkan Kemandirian, Meneduhkan Peradaban: Refleksi Kongres Muslimat NU ke- XVIII

Opini44 Dilihat

Surabaya, Metrozone.Net- Kongres Muslimat NU ke-18 tidak sekadar menjadi ajang musyawarah organisasi, tetapi juga ruang refleksi mendalam bagi para kader, pengurus, dan simpatisan Muslimat NU. Sebagai salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia yang telah berdiri tegak selama hampir satu abad, Muslimat NU memiliki akar kuat dalam tradisi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Suasana merawat tradisi ditandai oleh kehadiran ribuan jamaah Muslimat NU di Jatim Expo Surabaya, menggenggam nilai-nilai kultural dan spiritual sambil menyimak ijazah manaqib langsung dari As Syaikh As Sayyid Afeefuddin Al Jailani, serta bersholawat bersama Habib Syech.

Jadwal yang sangat padat dengan kehadiran para pemimpin negara, presiden wakil presiden beseta beserta para menterinya serta para pejabat negara lainnya, juga menjadi ciri khas tradisi berwarga negara jam’iyyah Muslimat NU sejak dulu. Keterlibatan aktif nya dalam merespon dan menyokong kebijakan pemerintah telah terbukti mampu mendinamisasi sidang-sidang pleno, sikap dukungan kepada pemerintah yang sah, hampir di semua kebijakan, secara konsiten telah lama dibuktikan sejak perlawanan melawan semua bentuk penjajahan.

Dukungan kebijakan pemerintah terutama yang berpihak pada kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, ekonomi kerakyatan dan ramah lingkungan selalu menjadi agenda perjuangan Muslimat NU.
Para kader Muslimat NU tidak hanya dipersiapkan sebagai pengelola organisasi, tetapi juga sebagai pemimpin yang memiliki integritas moral dan ketajaman spiritual.

Tanggapan antusias atas semua paparan kebijakan pemerintah, yang ditampilkan di arena sidang pleno, secara serius ditanggapi kritis berbasis data lapang yang cukup signifikan, sambil sesekali menantang aksesbilitas kepada kelompok-kelompok dhuafa dan yang terpinggirkan, seperti program-program pemberdayaan perempuan, infrastuktur desa tertinggal, carut marutnya data bantuan sosial bagi warga miskin, tampak nyata ghirroh keberpihakannya kepada ummat.

Sebagian besar pemimpin Muslimat NU memiliki latar belakang sebagai aktivis sosial dan keagamaan yang terlibat dalam berbagai bentuk pelayanan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan advokasi hak-hak perempuan. kepemimpinan berbasis komunitas, para pemimpin yang bekerja secara sukarela sering kali lebih terlibat secara psikologis dibandingkan dengan pemimpin yang bekerja dengan insentif finansial (Benson, 2010; Catano et al., 2001; Posner, 2015). Hal ini karena kepemimpinan mereka didasarkan pada panggilan untuk melayani, bukan sekadar menjalankan tugas administratif.

Praktik kepemimpinan transformatif yang berbasis pada nilai-nilai Islam mencerminkan tipologi khas dan menjadi landasan utama dalam menavigasi organisasi ini di tengah tantangan zaman. sebuah pendekatan yang mengharmoniskan nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan perubahan, selaras dengan pemikiran NU yaitu al-muhafadhatu ‘ala qadim al-shalih wal akhdhu bil jadid al-aslah “Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik”.

Prinsip ini menegaskan bahwa NU menghargai warisan tradisi yang memiliki nilai -nilai kemaslahatan, sekaligus terbuka terhadap berbagai perubahan dan inovasi.
Menguatkan kemandirian bukan sekadar tentang ekonomi, tetapi juga mencakup aspek sosial dan lingkungan yang berkelanjutan. Melalui berbagai perangkat seperti Yayasan Pendidikan, yang meletakkan fondasi nila-nilai islam ahlussunnah waljama’ah an-Nahdliyyah kepada anak-anak sejak usia di dini melalui penyelenggaran PAUD, TPQ , Madrasah Diniyyah dan PKBM-PKBM, sebagaimana yang dikisahkan oleh utusan dari PCI Malaysia yang dengan penuh dedikasi dan kerelawanan menyediakan akses dan fasilitas pendidikan bagi anak-anak yang memiliki masalah identitas kewarganegaraan.

Koperasi An-Nisa yang memperkuat ekonomi berbasis komunitas, hingga Himpunan Daiyah yang menjaga ketahanan spiritual masyarakat. Prinsip ini selaras dengan pemikiran Robert K. Greenleaf (1977) tentang servant leadership, di mana kepemimpinan sejati berakar pada kesediaan melayani dan membangun kapasitas orang lain. Model kepemimpinan ini terlihat dalam bagaimana Muslimat NU memberdayakan anggotanya agar menjadi agen perubahan yang mandiri, bukan sekadar penerima manfaat.
Sementara itu, meneduhkan peradaban berarti membangun masyarakat yang harmonis di tengah kompleksitas zaman yang penuh disrupsi.

Muslimat NU memiliki peran strategis dalam meredakan gejolak sosial yang muncul akibat ketimpangan ekonomi, maraknya judi online dan pinjaman daring ilegal, hingga krisis lingkungan akibat pola konsumsi yang tidak berkelanjutan. Kerelawanan sosial yang menjadi fondasi gerakan Muslimat NU sejalan dengan gagasan James MacGregor Burns (1978) tentang transformational leadership, di mana kepemimpinan yang efektif harus mampu menginspirasi perubahan dengan mengedepankan moralitas dan kepentingan bersama. Dalam menghadapi era globalisasi yang semakin individualistik, Muslimat NU meneguhkan peran sebagai penjaga nilai-nilai luhur, memastikan bahwa perubahan yang terjadi tidak mengorbankan harmoni sosial dan kelestarian lingkungan, tetapi justru membangun peradaban yang lebih teduh dan berkeadaban.

Riak-riak Kongres Muslimat NU
Kongres Muslimat NU menyisakan dinamika internal, termasuk hiruk-pikuk seputar tuntutan kaderisasi, hegemoni, serta potret pengkultusan individu, ada kecenderungan mempertahankan pola kepemimpinan yang lebih senioritas dan berbasis patronase. Beberapa pihak menilai bahwa kaderisasi dalam Muslimat NU harus diperkuat, agar organisasi tetap mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang memiliki visi dan dedikasi terhadap perjuangan umat. Di sisi lain, kekhawatiran terhadap dominasi figur dalam kepemimpinan organisasi menjadi perbincangan hangat.

Pemikiran Max Weber tentang otoritas karismatik dapat digunakan untuk memahami fenomena ini. Weber menyoroti bagaimana kepemimpinan berbasis kharisma sering kali menciptakan pengaruh besar, tetapi juga rentan terhadap kultus individu jika tidak diimbangi dengan mekanisme kaderisasi yang kuat. Hegemoni dalam organisasi menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, kepemimpinan yang kuat dan berwibawa dianggap penting untuk menjaga stabilitas organisasi, tetapi di sisi lain, dominasi elite dapat menghambat regenerasi dan inovasi.

James MacGregor Burns (1978) Seorang sejarawan dan ilmuwan politik yang memperkenalkan konsep kepemimpinan transformatif (transformational leadership), menggambarkan mereka yang mampu menginspirasi pengikutnya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dengan mengutamakan nilai, moralitas, dan perubahan sosial.

Sedangkan Robert K. Greenleaf (1977) Mengembangkan konsep kepemimpinan pelayan (servant leadership), yang menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang melayani terlebih dahulu, bukan sekadar berkuasa. Greenleaf menekankan empati, kepedulian terhadap kebutuhan orang lain, dan komitmen untuk mengembangkan potensi pengikutnya.

Penulis: Eni Hidayati (Peserta Konggres)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *