Banyuwangi, Metrozone.Net- Korupsi telah menjadi “Penyakit Akut Nan Kronis”. Penanganan kasus korupsi tidak bisa “biasa-biasa saja” karena telah menjelma sebagai “karakter dan budaya” tidak lagi malu, takut ataupun resah dalam berbuat.
Korupsi di Indonesia, telah meluas dari pusat sampai ke desa-desa. Kekuatan dan daya rusaknya telah berhasil memiskinkan seluruh rakyat dengan menanggung beban hidup yang semakin berat, Beban pajak, harga-harga sembako, biaya kesehatan dan pendidikan. Belum lagi korupsi menciptakan konflik sosial, budaya sampai pada ruang kegamaan.
Perilaku korup pada sebagian besar penyelenggara negara dan institusi penegak hukum, telah “melencengkan” amanat rakyat dan perundangan yang ada. Pejabat memainkan kewenangan dan manipulasi penerjemahan aturan. Hukum ditegakkan atas pemahaman bagi mereka yang mampu mengendalikan dan memainkan hukum dengan “wani piro dan siapa yang bayar/industri hukum”. Keberpihakan dapat dengan mudah dimainkan karena telah berkroni dalam satu institusi maupun lintas perangkat dinas, komando sang penguasa/pejabat.
Korupsi merupakan “musuh bersama” dalam berbangsa dan bernegara, sayangnya peran serta sebagian masyarakat melalui elemen pergerakan, aktifis maupun media turut keruh, karena ternyata hal ini ladang pekerjaan dan bisnis salam menempatkan hukum sebagai produk moral yang seharusnya “diperjuangkan, diluruskan’ ditegakkan.
Masifnya perulaku koruptif yang telah melanda bangsa, seakan mudah untuk dilemahkan dan kalah dalam aspek kebutuhan hidup dan pragmatism. Pemahaman dalam pelaksanaan hukum, setali tiga uang dengan dukungan dalan “lacurnya” keilmuwan hukum justru pada mereka yang berperan sebagai “penjaga marwah” akademisi, ulama, ahli. Yang “menyimpangkan maupun menggadaikan hukum karena “mabuk jabatan/kekuasaan” berharap dapat dirangkul oleh penguasa untuk mendapatkan “kue berjamaah” dan akses kemudahan.
Korupsi di negeri ini, sudah menjadi akut, ketika “Guru Bangsa” tidak lagi menjadi tauladan dalam refleksi terhadap moralitas dan akhlak. Mengesampingkan keduanya, seolah bukan “pelekat antara jiwa dan raga. Keduanya dapat berjalan sendiri sendiri dan berkeyakinan bahwa “korupsi adalah rizki” atau “korupsi dapat dimaafkan setelah melakukan doa harian”
Korupsi telah menjadi “penyakit akut” meradang, meluas dan menjadi budaya. Tidak menyadari, korups dapat “membunuh jiwa dalam keputusasaan rakyatnya. Korupsi bukan dianggap perilaku hina, karena “dibungkus” hasil kejahatan dengan gaya hedonisme, tampilan dan kehormatan materi. Aspek keburukan dapat dengan mudah ditutup dengan tampilan dan simbol, bisa juga peran antagonis dengan saat menjadi pejabat, dibungkus kesederhanaan dan keagamaan. Namun setelahnya purna tugas, diperlihatkan aset dan kepemilikan yang dititipkan sana sini.
Korupsi harus “dienyahkan”, bila kita ingin terbebaskan dari kemiskinan dan menjadi negara yang bermartabat. Korupsi tidak akan hilang, bila kita diam dan berani untuk memperjuangkan, perlu jiwa ksatrian dan tahan berpuasa maupun godaan. Meyakinkan perjuangan bukan untuk sekarang, tapi generasi masa depan bangsa.
Penulis: Andi Purnama. SH., ST,. MM