Merasionalisasi Kekuasaan DPRD, Peta Jalan Menuju Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan

Banyuwangi, Metrozone.net- Dinamika pembahasan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), memunculkan fenomena yang mengkhawatirkan, yakni ketidaksinkronan antara arah kebijakan strategis daerah yang tertuang dalam RPJMD dengan praktik nyata fungsi penganggaran oleh lembaga legislatif daerah. Padahal, DPRD sebagai lembaga representatif memiliki tiga fungsi utama: legislasi, penganggaran (budgeting), dan pengawasan. Namun, dalam praktiknya, fungsi penganggaran justru kerap didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis dan kepentingan elektoral yang sempit.

Para anggota legislatif lebih cenderung mengutamakan alokasi anggaran untuk memuaskan janji politik kepada konstituen lokalnya, alih-alih menempatkan kepentingan strategis nasional dan pembangunan daerah secara kolektif sebagai prioritas utama.

Fenomena ini dapat dianalisis menggunakan pendekatan rational choice theory, yang menjelaskan bahwa individu – termasuk aktor politik – pada dasarnya bertindak berdasarkan kepentingan personal yang rasional untuk memperoleh keuntungan maksimal, termasuk elektabilitas politik. Dalam konteks DPRD, preferensi rasional ini terwujud dalam bentuk intervensi terhadap proses penganggaran untuk memastikan bahwa konstituen langsung mereka merasakan manfaat jangka pendek, meskipun harus mengorbankan kepentingan bersama yang bersifat jangka panjang dan strategis.

Akibatnya, agenda-agenda prioritas nasional seperti ketahanan pangan, energi, air, dan penguatan pendidikan serta kesehatan, yang telah dijabarkan dalam RPJMD, tidak selalu mendapatkan dukungan penuh dari parlemen lokal. Fragmentasi kepentingan ini memperlemah kesinambungan antara pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Fungsi pengawasan pun menjadi lemah karena DPRD lebih fokus pada negosiasi dan alokasi sumber daya untuk agenda sektoral atau spasial yang sempit.

Selain itu, jika dikaji dari perspektif control of bureaucracy, posisi DPRD sebagai institusi yang seharusnya memberikan checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif justru mengalami distorsi. Alih-alih mengarahkan birokrasi menuju pelaksanaan program-program strategis yang efektif dan inklusif, hubungan antara legislatif dan eksekutif berubah menjadi arena tarik-menarik kepentingan anggaran. Birokrasi pun kehilangan arah karena lebih sibuk melayani instruksi politik jangka pendek daripada menjalankan program berbasis visi daerah.

Ketidakhadiran regulasi yang tegas dalam RPJMD yang mensinergikan antara aspirasi masyarakat, kepentingan politik, dan arah pembangunan nasional menunjukkan bahwa tata kelola kita belum sepenuhnya dibangun di atas semangat collaborative governance. Dalam teori tersebut, keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh keterlibatan aktor lintas sektor secara sinergis, dengan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, dan tujuan bersama. Sayangnya, fragmentasi rasional individu di DPRD masih mengalahkan rasionalitas kolektif sebagai representasi publik.

Di tengah kenyataan bahwa dokumen perencanaan seperti RPJMD kerap dirancang secara teknokratis oleh tim-tim ahli dari perguruan tinggi ternama yang ditunjuk oleh kepala daerah, ruang publik menjadi semakin sempit untuk menegosiasikan substansi kebijakan secara bermakna.

Padahal, keberadaan DPRD sebagai lembaga representasi rakyat seharusnya menjadi jembatan strategis untuk merasionalisasi dokumen teknokratik tersebut agar terhubung dengan realitas kebutuhan masyarakat. Untuk itu, DPRD perlu mengambil peran lebih aktif dan sistematis dalam membangun komunikasi dua arah dengan konstituen, tidak sekadar menyerap aspirasi, tetapi juga mendidik dan menerjemahkan isu-isu strategis nasional—seperti ketahanan pangan, krisis iklim, dan keadilan sosial—ke dalam bahasa yang relevan dengan kehidupan sehari-hari warga.

Solusinya bukan menambah beban birokrasi, tetapi memperkuat forum-forum formal dan informal yang telah ada, seperti reses, musrenbang, dan dialog konstituen-komunitas/ stakeholder strategis, agar benar-benar menjadi ruang deliberatif yang menyambungkan antara isu makro dan mikro. DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif perlu memiliki kapasitas naratif untuk menjelaskan kepada masyarakat mengapa alokasi anggaran untuk pertanian berkelanjutan, ketahanan pangan, konservasi lingkungan, pendidikan inklusi, atau mitigasi bencana perlu menjadi prioritas, meskipun itu tidak selalu menguntungkan secara elektoral dalam jangka pendek.

Pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan hanya mungkin tercapai bila kekuasaan DPRD dijalankan secara deliberatif dan komunikatif. Ini bukan hanya soal etika politik, tetapi soal keberlanjutan daerah dalam menghadapi tantangan global dan nasional. Maka, penting kiranya dirumuskan mekanisme komunikasi strategis yang menjadi bagian dari dokumen RPJMD, yang menetapkan indikator keberhasilan bukan hanya pada capaian fisik, tetapi juga terukurnya kesadaran publik atas urgensi isu-isu pembangunan jangka panjang. Dengan cara ini, DPRD tidak hanya menjadi “pemegang anggaran”, tetapi menjadi bagian dari arsitek rasionalisasi masa depan daerah yang tangguh dan inklusif.

Oleh Dr. Emy Emi Hidayati ,S.Pd. M.Si. (Dosen Prodi PMI ( Pengembangan Masyarakat Islam UNIIB )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *